Ketua Dewan Pers Prof. Azyumardi Azra (AA)

Detak-Palembang.com – Ketua Dewan Pers Prof. Azyumardi Azra (AA), menyatakan mendukung 1000 % pandangan dan sikap PWI, yang menolak munculnya pemikiran perlunya pemerintah memberikan tunjangan atau gaji kepada wartawan yang sudah memiliki sertifikasi dan kompeten..

Pernyataan itu, diucapkan Prof AA saat berbindang dengan Ketua Dewan Kehormatan PWI, Ilham Bintang, Sabtu (2/7). Beliau juga mempersilahkan wartawan mengutip pernyataannya mendukung sikap dan pandangan PWI Pusat tersebut.

”Alhamdulillah. Terima kasih kepada teman- teman semua, tidak terkecuali, atas pemuatan pernyataan sikap PWI Pusat menolak usulan wartawan yang sudah lulus ujian kompeten mendapatkan gaji/ tunjangan dari pemerintah. Sampai hari ini pernyataan itu masih terus disiarkan oleh media di seluruh Indonesia,” ujar Ilham Bintang, lewat catatannya yang dierima redaksi koranrakyat.co.id/

Ia juga mnejelaskan jika kita googling di internet, tampak sekali siaran pers PWI mendominasi dan menjadi trending topik dua hari berturut-turut sejak disiarkan hari Sabtu pagi. Perbandingan dengan pandangan yang mewacanakan sebaliknya, seperti bumi dan langit.

”Sungguh ini membanggakan karena secara bersamaan kita merasakan pemahaman mendalam kawan-kawan mengenai independensi dan penghayatan yang mendasar pada KEJ, khususnya Pasal 6. Pasal 6 : Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap,” ujarnya.

Penafsiran :

a.Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.

b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda, atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi. KEJ adalah konsep operasional moral wartawan.

Roh indepensi KEJ bersifat universal karena memang diilhami “Canon of Journalism” pers Amerika.

Meski KEJ itu telah beberapa kali berganti, hingga sekarang referensi utamanya adalah KEJ PWI. Memang PWI juga yang sejak awal menyadari perlunya pengawasan pentaatan wartawan pada KEJ dengan membentuk Dewan Kehormatan PWI pada tahun 1957 dengan ketua pertama, Haji Agus Salim.

Ilham Bintang memaparkan peran wartawan di Indonesia sudah mendapat pengakuan sejak sebelum kemerdekaan, jauh sebelum PWI terbentuk 9 Februari 1946.

”Kita tahu sejak itu tidak pernah ada satu masa yang membuat ekonomi wartawan baik. Wartawan pendahulu kita tidak hanya mendapat gaji kurang memadai, tetapi rela berkorban secara materiel – menjual rumah dan tanah warisannya– tetapi juga rela menghadapi taruhan keluar masuk penjara karena menegakkan prinsip jurnalisme itu. Kesulitan ekonomi wartawan, terbukti tidak menyurutkan tekad wartawan menekuni profesi ini,” katanya.

Dalam konteks itulah Ilham mengaku sedikit sedih menanggapi pandangan berbeda dari beberapa kawan. Yang bikin sedih karena menjadikan parpol –yang disebut dapat tunjangan pemerintah – -sebagai referensi, dan menjadi dasar argumentasinya untuk mengusulkan hal sama untuk wartawan yang sudah mengantongi sertifikat kompetensi.

”Parpol bukan contoh baik. Sudah bergaji besar pun, bergelimang fasilitas, tapi ratusan kadernya secara berjamaah menjadi penghuni lapas-lapas karena kasus korupsi dan suap,” ujarnya menambahkan.

Soal argumentasi lain, mengenai ”wartawan yang menerima fasilitas ketika ikut perjalanan menteri, naik pesawat bisnis kelas, hotel bintang 5, lundsum dollar dan tradisi amplop dalam acara konferensi pers” sangat tidak tepat pula dijadikan pijakan untuk melegalkan tunjangan kepada wartawan.

”Argumentasi itu mudah sekali dipatahkan. Kalau begitu logika berpikirnya, legalkan sekalian saja perdagangan miras, judi, dan pelacuran karena faktanya praktek itu hingga sekarang sulit diberantas secara tuntas. Itulah yang saya sebut sesat pikir,” tegas Ilham.

Dikatakan menjadikan tunjangan kepada Guru sebagai dasar pertimbangan juga tindakan keliru. Sebab, guru tidak seperti pers yang dibebani fungsi kontrol sosial. (*)