
Detak-Palembang.com – Opini , Dunia akhir-akhir ini seakan dihantui oleh resesi ekonomi. Tak dapat dipungkiri, pandemi Covid-19 saat ini mampu mengguncang perekonomian dunia. Serangan wabah pandemi yang tidak tau kapan berhentinya, mengakibatkan sejumlah negara berada di tepi jurang resesi. Keadaan ini juga tak terkecuali akan dihadapi oleh Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut terkena wabah Covid-19.
Dilansir dari laman Wikipedia, bahwasanya resesi ekonomi adalah kondisi ketika produk domestik bruto (PDB/GDP) menurun atau ketika pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun. Resesi dapat mengakibatkan penurunan secara simultan pada seluruh aktivitas ekonomi seperti lapangan kerja, investasi, dan keuntungan perusahaan. Resesi sering diasosiasikan dengan turunnya harga-harga (deflasi), atau kebalikannya, meningkatnya harga-harga secara tajam (inflasi) dalam proses yang dikenal sebagai stagflasi. Resesi ekonomi yang berlangsung lama disebut depresi ekonomi. Penurunan drastis tingkat ekonomi (biasanya akibat depresi parah, atau akibat hiperinflasi) disebut kebangkrutan ekonomi atau economy collapse.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan data pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah pandemi Covid-19. Pada data tersebut ditunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia minus hingga mencapai -5,32 persen pada kuartal II 2020. Padahal, pada kuartal I 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada pada angka 2,97 persen. Kemerosotan ekonomi Indonesia pada dasarnya berbanding lurus dengan situasi ekonomi negara di dunia. Khususnya mereka yang menjadi mitra dagang negara Indonesia (Jakpusnews.com, 5/8/2020).
Terpuruknya pertumbuhan ekonomi dunia terlebih Indonesia, terjadi karena dampak dari pandemi Covid-19. Hal ini dipengaruhi oleh masih adanya peningkatan kasus positif Covid-19. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pun dituding turut andil dalam melemahnya pertumbahan ekonomi Indonesia. Sehingga, resesi teknikal siap mengancam di depan mata. Namun, jika ditelisik lebih dalam resesi tersebut pada hakikatnya bukan pula karena pertumbuhan ekonomi minus selama dua kali berturut-turut, bukan pula kebijakan PSBB atau lockdown.
Akan tetapi, resesi ekonomi yang akan dihadapi negeri ini disebabkan fakta dalam menangani wabah yang kurang tepat di tengah masyarakat. Masyarakat sulit mendapatkan jalan keluar untuk memenuhi kebutuhan pada saat PSBB. Sehingga kemerosotan ekonomi pun terjadi. Kebijakan pemerintah yang terkesan serba prematur tidak bisa segera mengendalikan sebaran Covid-19 saat ini, mengakibatkan beberapa daerah memberlakukan mengetatan aturan kembali untuk menekan sebaran Covid-19. Kebijakan ini memberikan andil besar terhadap keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Serta memberikan efek ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah dalam menangani wabah.
Namun demikian, tidak hanya wabah Covid-19 yang menjadi akar akan terjadinya resesi ekonomi, tetapi sistem perekonomian yang dipergunakan oleh negara di dunia selama inilah sebagai pokok permasalahannya. Bagaimana tidak, sistem ekonomi kapitalis yang digunakan memiliki pondasi yang rapuh. Sistem ekonomi ini mengandalkan sektor ekonomi non riil (ribawi) yaitu pasar modal, saham dan perbankan dan telah bercokol terlalu lama. Sehingga menghasilkan sistem ekonomi yang rentan terhadap berbagai goncangan terlebih disaat wabah melanda seperti sekarang ini.
Sangat berbeda jauh jika sistem pemerintahan yang digunakan adalah sistem Islam, maka setiap kebijakan hukum akan selalu bermuara kepada aturan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Sumber hukum yang digunakan bukanlah buatan manusia yang bersumber dari akal yang sangat terbatas. Namun, hukum dan kebijakan yang dibuat bersumber dari Sang Pencipta dan Pengatur Alam semesta.Seperti halnya dalam penanganan wabah, Islam telah memberikan contoh bagaimana cara penanggulangan yang tepat.
Rasulullah Saw bersabda: “Bila kamu mendengar wabah di suatu daerah, maka kalian jangan memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di daerah kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu”.(HR. Bukhari Muslim)
Dari hadist tersebut maka tergambar bagaimana seharusnya negeri ini menghadapi wabah. Maka yang dilakukan adalah lockdown atau karantina wilayah total tanpa pelonggaran. Masyarakat yang berada di luar wilayah yang terkena wabah tidak diperbolehkan melakukan perjalanan menuju wilayah yang terkena wabah. Begitu pula sebaliknya, masyarakat yang terkena wabah dilarang keluar dari wilayah mereka.
Selain negara melakukan karantina wilayah, masyarakat juga hendaknya melakukan karantina mandiri.Rasulullah Saw bersabda,
“Dari Siti Aisyah RA, ia berkata, ‘Ia bertanya kepada Rasulullah SAW perihal tha‘un, lalu Rasulullah SAW memberitahukanku, ‘Zaman dulu tha’un adalah azab yang dikirimkan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya, tetapi Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang beriman. Tiada seseorang yang sedang tertimpa tha’un, kemudian menahan diri di rumahnya dengan bersabar serta mengharapkan ridha Ilahi seraya menyadari bahwa tha’un tidak akan mengenainya selain karena telah menjadi ketentuan Allah untuknya, niscaya ia akan memperoleh ganjaran seperti pahala orang yang mati syahid,” (HR Ahmad).
Masyarakat dalam wilayah yang terdampak wabah hendaknya tetap berdiam diri di rumah selama wabah masih ada. Hal ini tidak lain adalah untuk memutus rantai penyebaran wabah, sehingga wabah cepat tertanggulangi. Selanjutnya, dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, negara memiliki tanggung jawab penuh untuk memenuhinya. Negara menjamin kebutuhan dasar masyarakatnya baik dalam keadaan normal apalagi dalam keadaan tertimpa bencana atau pun wabah. Keadaan ini agar masyarakat tetap mampu melangsungkan kehidupannya serta roda perekonomian tidak mengalami kemerosotan.
Dalam sistem Islam, roda perekonomian diatur dengan sedemikian rupa agar kokoh dalam segala situasi dan kondisi serta dapat menghentikan resesi ekonomi secara sistematik. Kebijakan ekonomi dalam Islam selalu diarahkan agar memberikan jaminan kepada pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu serta menjamin pendistribusian kekayaan negara kepada seluruh anggota masyarakat, sehingga Islam menitikberatkan pemecahan permasalahan dalam ekonomi Islam terletak pada permasalahan individu manusia, bukan pada negara.
Selanjutnya, dengan sistem Islam, negara akan melaksanakan dan memantau perkembangan pembangunan dan perekonomian dengan menggunakan aspek-aspek yang menyentuh tingkat kesejateraan masyarakat. Misalnya, menentang ekspoloitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, menentang eksploitasi Sumber Daya Alam oleh pihak swasta dan asing, melarang menumpuk kekayaan. Bahkan dalam menjalankan ekonomi Islam sangat mengharamkan kegiatan ribawi.
Maka dengan menerapkan sistem Islam maka negara akan terhindar dari resesi ekonomi yang telah menghadang di depan mata saat ini.
Wallahu a’lam Bish Shawab.
Oleh : Desliyana, A. Md(Pegiat Opini Ideologis)